Masuknya Islam di Lampung
Agama Islam masuk ke Lampung sekitar abad ke-15 melalui tiga pintu. Dari arah barat (Minangkabau) agama ini masuk melalui Belalau (Lampung Barat), dari utara (Palembang) melalui Komering pada masa Adipati Arya Damar (1443), dan dari arah selatan (Banten) oleh Fatahillah atau Sunan Gunung Jati, melalui Labuhan Maringgai di Keratuan Pugung (1525). Dari ketiga pintu masuk agama Islam itu, yang paling berpengaruh melalui jalur selatan atau Banten oleh Fatahillah atau Sunan Gunung Jati, melalui Labuhan Maringgai di Keratuan Pugung pada tahun 1525.
Dari ketiga pintu masuk agama Islam itu, yang paling berpengaruh melalui jalur selatan. Ini bisa dilihat dari situs-situs sejarah seperti makam Tubagus Haji Muhammad Saleh di Pagardewa, Tulangbawang Barat, makam Tubagus Machdum di Kuala, Telukbetung Selatan, dan makam Tubagus Yahya di Lempasing, Kahuripan diduga keduanya masih keturunan Sultan Hasanuddin dari Banten. Di Ketapang, Lampung Selatan, terdapat makam Habib Alwi bin Ali Al-Idrus.
Ketika Kesultanan Banten memasuki Lampung pada tahun 1530 M ditandai dengan penundukan Ratu Pugung oleh Fatahillah, daerah Lampung terbagi dalam 5 wilayah keratuan (persekutuan hukum adat), yaitu:
1. Keratuan di Puncak menguasai wilayah Abung dan Tulangbawang;
2. Keratuan Pemanggilan menguasai wilayah Krui, Ranau, dan Komering;
3. Keratuan di Balau menguasai wilayah sekitar Teluk Betung;
4. Keratuan di Pugung menguasai wilayah Pugung dan Pubian. Ketika Banten berpengaruh kuat di Lampung, Keratuan di Pugung terbagi lagi dan berdiriKeratuan Maringgai (Melinting); dan
5. Keratuan Darah Putih menguasai wilayah di pegunungan Rajabasa Kalianda.
Menurut Budayawan Lampung Udo Z. Karzi, Di Belalau, Islam dibawa empat orang putra Pagaruyung (Minangkabau). Sebelumnya, di wilayah ini telah berdiri sebuah kerajaan legendaris bernama Sekala Brak, dengan penghuninya suku bangsa Tumi, penganut animisme.
Bangsa Tumi mengagungkan sebuah pohon bernama Belasa Kepampang atau nangka bercabang. Konon, pohon ini memiliki dua cabang, satunya nangka dan sisi yang lain adalah sebukau, sejenis kayu bergetah. Keistimewaan pohon ini, jika terkena getah kayu sebukau bisa menimbulkan koreng dan hanya dapat disembuhkan dengan getah nangka di sebelahnya.
Selain itu, Islam di Lampung masuk lewat Budaya Setempat. Meskipun penyebaran agama Islam di Lampung dominan melalui selatan (Banten), bukan berarti bisa menjamah seluruh daerah di Lampung. Dari utara, misalnya, Islam mudah masuk dari Pagaruyung (Minangkabau). Dari utara, Islam masuk dari Palembang melalui Komering.
Dari utara, Islam dibawa empat putra Raja Pagaruyung Maulana Umpu Ngegalang Paksi. Empat putra Maulana Umpu Ngegalang Paksi adalah Umpu Bejalan Di Way, Umpu Belunguh, Umpu Nyerupa, dan Umpu Pernong. Fase ini menjadi bagian terpenting dari eksistensi masyarakat Lampung. Kedatangan keempat umpu ini merupakan kemunduran dari Kerajaan Sekala Brak Kuno atau Buay Tumi yang merupakan penganut Hindu Bairawa/animisme.
Momentum ini sekaligus tonggak berdirinya Kepaksian Sekala Brak atau Paksi Pak Sekala Brak yang berasaskan Islam. Umpu berasal dari kata ampu tuan (bahasa Pagaruyung), sebutan bagi anak raja-raja Pagaruyung Minangkabau. Di Sekala Brak, keempat umpu tersebut mendirikan suatu perserikatan yang dinamai Paksi Pak yang berarti empat serangkai atau empat sepakat. Setelah perserikatan ini cukup kuat, suku bangsa Tumi dapat ditaklukkan dan sejak itu berkembanglah Islam di Sekala Brak. Pemimpin Buay Tumi dari Kerajaan Sekala Brak saat itu wanita yang bernama Ratu Sekerumong yang pada akhirnya dapat ditaklukkan Perserikatan Paksi Pak. Sedangkan penduduk yang belum memeluk Islam melarikan diri ke pesisir Krui dan terus menyeberang ke Jawa dan sebagian lagi ke Palembang.
Agar syiar agama Islam tidak mendapatkan hambatan, pohon belasa kepampang yang disembah suku bangsa Tumi ditebang untuk kemudian dibuat pepadun. Pepadun adalah singgasana yang hanya dapat digunakan atau diduduki pada saat penobatan saibatin raja-raja dari Paksi Pak Sekala Brak serta keturunannya. Ditebangnya pohon belasa kepampang ini pertanda jatuhnya kekuasaan Tumi sekaligus hilangnya animisme di Kerajaan Sekala Brak, Lampung Barat. Islam juga erat kaitannya dengan adat dan budaya Lampung. Sebagai cikal bakal masyarakat suku Lampung, Paksi Pak Sekala Brak memasukkan nilai-nilai keislaman dalam semua peristiwa dan upacara adat. Hampir tidak ada acara adat yang tidak berbau Islam. Mulai dari kelahiran anak sampai perkawinan dan kematian selalu bernuansa Islam.
Sedangkan pengaruh agama Islam dari arah (Palembang) masuk lewat Komering. Ketika itu, Palembang diperintah Arya Damar. Diperkirakan, Islam masuk dari utara dibawa Minak Kemala Bumi atau yang juga dikenal dengan nama Minak Patih Prajurit.
Dari selatan (Banten), Islam diperkirakan dibawa Fatahillah atau Sunan Gunung Jati melalui Labuhanmaringgai sekarang, tepatnya di Keratuan Pugung. Di sini, konon, Fatahillah menikah dengan Putri Sinar Alam, anak Ratu Pugung. Dari pernikahan ini melahirkan anak yang diberi nama Minak Kemala Ratu, yang kemudian menjadi cikal bakal Keratuan Darah Putih dan menurunkan Radin Intan, pahlawan Lampung yang juga tokoh penyebar Islam di pesisir.
Selain melalui jalur budaya, perdagangan juga ikut mewarnai masuknya Islam di Lampung. Awalnya Islam masuk ke Indonesia pada abad VII Masehi Selat Malaka. Perdagangan saat itu menghubungkan Dinasti Tang di China, Sriwijaya di Asia Tenggara, dan Bani Umayyah di Asia Barat. Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari China, India, Arab, dan Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang China, mulai dari periode Dinasti Tang (960-1279 M) sampai Dinasti Ming (abad 14-17 M). Jalur perdagangan ini kemudian disambung dengan tali perkawinan antara saudagar dan masyarakat setempat, atau bahkan keluarga kerajaan.
Menurut sumber-sumber China menjelang akhir perempatan ketiga abad VII, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin permukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera.
Jalur perdagangan ini kemudian disambung dengan tali perkawinan antara saudagar dan masyarakat setempat, atau bahkan keluarga kerajaan. Dari hasil perkawinan inilah yang membuat perubahan pada kerajaan-kerajaan di Sumatera.
“Salah satu penyebab banyak hilangnya situs-situs milik kerajaan di Sumatera karena dijual keluarga kerajaan kepada saudagar asing,”
Situs-situs sebelum Islam masuk berupa patung-patung sesembahan yang kemudian disingkirkan karena bertentangan dengan ajaran Islam. Berbeda dengan kerajaan di Pulau Jawa yang terus mempertahankan benda-benda budayanya, sebab memang Islam masuk sebagian besar melalui jalur budaya.
Barulah sekitar abad XIV perjalanan Laksamana Cheng Ho memasuki Way Tulang Bawang dan berinteraksi dengan warga sekitar. Selain itu juga ada pintu masuk lain, yakni Labuhan maringgai, terbukti ada beberapa daerah yang dinamai Lawangkuri di Gedungwani dari Sultan Banten.
Peta Keratuan Lampung
Bukti Peradaban Islam di Lampung
Diantara bukti-bukti adanya peradaban Islam di Lampung pada masa itu adalah batu nisan Bercorak Kerajaan Samudera Pasai di Lampung Selatan, yaitu di Kampung Muarabatang dan Wonosobo (sekarang Tanggamus). Batu nisan ini mempunyai bentuk dan corak sama dengan nisan milik Malik Al Saleh di Pasai yang berasal dari tahun 1297, yang merupakan dua jejak masuknya Islam dari arah Malaka. Bukti lainnya itu berupa peta Kota Mekah dan baju adat bertuliskan aksara arab yang disimpan di Rumah Karya Niti Jaman di wilayah pesisir, tepatnya di Desa Condong, Kecamatan Rajabasa.
Peninggalan abad XV sebagai pertanda Islam masuk ke sana antara lain Alquran bertulis tangan kuno dan Perjanjian Banten-Lampung. Perjanjian persaudaraan itu ditulis menggunakan bahasa arab. Selain itu, bukti lain adalah UU Adat atau Kuntara Raja Niti. Undang-undang ditulis dalam dua versi, yakni berbahasa Banten dengan aksara Arab dan bahasa Lampung dengan huruf ka-ga-nga.
Pasca meletusnya gunung krakatau, penyebaran Islam di Lampung semakin pesat, Salah satunya di prakarsai oleh penyiar agama Islam asal Hadramaut, Yaman, yakni Habib Alwi bin Ali Al Idrus yang makamnya di Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan. Makam itu disertai dua makam yang konon murid sang Habib di dalam Masjid Nurul Huda, Desa Ketapang. Hingga kini makam itu terus diziarahi umat Islam dari berbagai daerah.
Di halaman Masjid Jami juga terdapat meriam kuno peninggalan Portugis pada 1811. Bunyi meriam ini kemudian menjadi tanda umat Islam sebagai awal berpuasa. “Meriam kuno ini dibunyikan pada waktu-waktu tertentu yakni untuk menyerukan ibadah salat magrib, subuh, dan saat berbuka puasa,”
Sejalan dengan perkembangan zaman, tahun 1962 strategi dalam hal pola pembinaan umat Islam mengalami perubahan dan penyempurnaan, yakni mewujudkan pembangunan sekolah keagamaan, seperti (middle arabische school (MAS) dengan pimpinannya seorang keturunan Arab yang memiliki predikat sayid, yaitu Mohammad Said Ali. Lalu, pembangunan madrasah ibtidaiah (MI) di depan Masjid Al Anwar. Pembangunan ini diprakarsai Mas Agus Muhammad Amin alias H. Item bersama ulama dan saudagar Arab yang konon berjumlah 29 orang. Di sekolah ini pucuk pimpinan dipercayakan kepada Subroto.
Sedangkan bangunan tempat pembinaan dan pendidikan yang terakhir, yakni sekolah Muhammadiyah yang diprakarsai Kgs. H. Ateh, Kgs. H. Anang, dan Somad Solichin di Kelurahan Gedungpakuon dipindahkan ke Jalan Kampung Upas.
Bukti lainnya juga dapat dilihat dengan adanya beduk masjid di pring sewu yang waktu itu dipimpin oleh K.H. Gholib seorang ulama yang belajar dengan banyak guru. Yang mana beduk tersebut berfungsi sebagai tanda waktu sholat. Selain itu pesantren yang dibangun oleh K.H. Ghalib di pring sewu ini juga merupakan bukti adanya peradaban Islam di Lampung.
Selain itu, masjid Yaqin yang diberdiri sejak 1912 ini juga merupakan bukti adanya peradaban islam di Lampung, Masjid itu kini terletak di Jalan Raden Intan, Bandar Lampung, bisa dikatakan sebagai salah satu tempat ibadah umat muslim yang berperan dalam kesinambungan ajaran-ajaran Islam di Bandar Lampung. Kemudian, pada 1925, masjid ini dipindahkan ke Enggal (lokasi masjid saat ini) dan diberi nama Masjid Enggal Perdana. Pada 1965, atribut masjid ini kembali diubah menjadi Masjid Jami Al Yaqin hingga sekarang. Bukti lain adalah adanya naskah-naskah kuno yang tersimpan di Masjid Jami’ Al Anwar. Sayang sekali, 400-an kitab yang ditulis dengan aksara Arab Melayu yang disimpan digudang kurang terawat. Kondisinya sangat memprihatinkan. Padahal, kitab-kitab itu adalah “harta karun” yang tak ternilai harganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.